Fathirahma Dayli

Menu
Fathirahma Dayli

            

 



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

       Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel.
Akibat sistem pendidikan tersebut dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Untuk mengatasi masalah tersebut pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.

B. Rumusan Masalah
     Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1. Apa pengertian pendidikan inklusif?
2. Apa kategori siswa pendidikan inklusif?
3. Apa prinsip dasar pendidikan inklusif?
4. Apa tantangan implementasi pendidikan inklusif?

BAB II 
PEMBAHASAN 
A. Pengertian Pendidikan Inklusif
 `    Istilah Inklusi berasal dari bahasa Inggris “inclusion” yang berarti sebagai penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri atau visi misi  sekolah. Inklusif juga dapat diartikan sebagai cara berfikir dan bertindak yang memungkinkan setiap individu merasakan diterima dan dihargai. Lebih jauh lagi inklusif berarti bahwa semua anak dapat diterima meskipun konsep “semua anak” harus cukup jelas, dan masih sulit bagi banyak orang untuk memahaminya. 
    Para ahli pendidikan mengemukakan konsep pendidikan inklusif secara beragam, namun pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama. Ada beberapa ahli pendidikan mendefinisikan pendidikan inklusif sebagai berikut:
  1. Menurut Stainback bahwa sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
  2. Staub dan Peck mengemukakan pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas. Hal ini menunjukkan kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak berkelainan, apapun kelainan jenisnya. 
  3. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 tahun 2009, menyebutkan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik umumnya. 
        Pendidikan inklusif berarti sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik atau kondisi lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat dan berbakat. Anak-anak jalanan dan pekerja, anak berasal dari populasi terpencil atau yang berpindah-pindah. Anak dari kelompok etnis minoritas, linguistik atau budaya dan anak-anak dari area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi.
Inti pendidikan inklusif adalah hak azazi manusia atas pendidikan. Seperti yang diinformasikan pada Deklarasi Hak Azazi Manusia pada tahun 1994, yang sama pentingnya adalah hak agar tidak didiskriminasikan. Suatu konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan. Tidak didiskriminasikan dengan dasar kecacatan, etnis, agama, bahasa, jenis kelamin, kemampuan dan lain-lain.
        Jadi dapat disimpulkan pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.

B. Kategori Siswa Pendidikan Inklusif
     Dalam Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 2 disebutkan bahwa setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki kecerdasan ddan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Kemudian pada pasal 3 disebutkan bahwa peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda. 
       Anak berkebutuhan khusus ditujukan pada segolongan anak yang memiliki kelainan atau perbedaan sedemikian rupa dari anak rata-rata normal dalam segi fisik, mental, emosi, sosial, atau gabungan dari ciri-ciri itu dan menyebabkan mereka mengalami hambatan untuk mencapai perkembangan yang optimal sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal.  Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak cerdas istimewa dan bakat istimewa.  
        Adapun yang termasuk anak dengan kebutuhan khusus adalah: 
  1. Anak tunanetra, yaitu anak yang mengalami kelainan kehilangan ketajaman penglihatan sedemikian rupa sehingga penglihatannya tidak dapat digunakan untuk melakukan aktivitas sehari-hari termasuk untuk sekolah sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus.
  2. Anak tunarungu, yaitu anak yang mengalami kehilangan kemampuan mendengar, baik kehilangan kemampuan mendengar sama sekali maupun kehilangan kemampuan mendengar sebagian.
  3. Anak tunagrahita, yaitu anak yang memiliki keterbatasan perkembangan fungsi-fungsi inteligensi, kapasitas inteligensinya berada di bawah rata-rata anak.
  4. Anak tunadaksa, yaitu anak yang memiliki kelainan fungsi fisik yang sedemikian rupa sehingga mengganggu proses pembelajaran yang biasa digunakan bagi siswa umum.
  5. Anak tunalaras, yaitu anak dengan gangguan emosional, anak dengan kekacauan psikologis, atau anak dengan hambatan mental.
  6. Anak berkesulitan belajar, adalah anak yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam belajar bidang akademik dasar sebagai akibat terganggunya sistem saraf yang terkait atau pengaruh secara langsung dari berbagai faktor lainnya dan ditandai dengan kesenjangan antara potensi yang dimiliki dengan prestasi yang dicapai.
  7. Anak lambat belajar, yaitu siswa yang inteligensinya berada pada taraf perbatasan dengan IQ 70-85 berdasarkan tes inteligensi baku.
  8. Anak berbakat, yaitu anak yang secara umu keberbakatannya ditandai dengan ciri IQ yang secara signifikan di atas rata-rata anak biasa dan mempunyai karakteristik tertentu.
  9. Anak autisme, yaitu anak yang sangat asyik dengan dirinya sendiri seolah-olah ia hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan suatu keadaan ketidakmampuan seseorang melakukan kontak sosial dengan lingkungannya dengan berbagai komunikasi.

C. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusif
        
        Prinsip pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan jaminan akses dan peluang bagi semua anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan mereka. Ada beberapa prinsip dasar pendidikan inklusif diantaranya:  
  1. Pendidikan inklusif membuka kesempatan kepada semua jenis siswa.
   Pendidikan inklusif merepresentasikan pihak yang termarginalkan dan terbelakang dari lingkungannya. Representasi pendidikan inklusif bukan saja menolak diskriminasi dan ketidakadilan, melainkan pula memperjuangkan hak azazi manusia yang terbelenggu oleh hegemoni penguasa. Pendidikan inklusif tidak saja menjadi konsep pendidikan yang menekankan pada kesetaraan, tetapi juga memberikan perhatian penuh pada semua kalangan anak yang mengalami keterbatasan fisik maupun mental. Pendidikan inklusif mengusung tema besar tentang pentingnya menghargai perbedaan dalam keberagaman.

      2. Pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling.

        Prinsip dasar yang menjadi karakter pendidikan inklusif adalah menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan pelabelan atau labeling. Ketika kita memberikan pelabelan kepada anak berkebutuhan khusus, disitulah akan muncul stigma negatif yang menyudutkan anak dengan keterbatasan dan kekurangannya. Pelabelan bukan saja sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kecurigaan yang berlebihan, melainkan pula bisa menciptakan ketidakadilan dalam menghargai perbedaan antara sesama. Salah satu dampak buruk dari labeling adalah munculnya inferioritas bagi pihak yang diberi label negatif.

        3. Pendidikan inklusif selalu melakukan Check dan Balances.

        Salah satu keuntungan dari kehadiran pendidikan inklusif adalah selalu melakukan check dan balances. Kehadiran pendidikan inklusif bukan sekedar sebagai konsep percobaan yang hanya muncul dalam wacana belaka, melainkan bisa menjadi konsep ideal yang berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan berbasis check dan balances. Sangat antusias menyambut kehadiran pendidikan inklusif karena disamping menciptakan alternatif baru juga menghadirkan satu gagasan praktis yang dapat dilaksanakan tanpa harus mengalami kesulitan berarti dalam konteks pelaksanaannya.
        Menurut Indianto, prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalan sekolah inklusi sebagai berikut: 
  • Prinsip motivasi. Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.
  • Prinsip latar/konteks. Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
  • Prinsip keterarahan. Setiap anak melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
  • Prinsip hubungan sosial. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, seakan interaksi banyak arah.
  • Prinsip belajar sambil bekerja. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian dan sebagainya.
  • Prinsip individualisasi. Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
  • Prinsip menemukan. Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat secara aktif baik fisik maupun mental, sosial dan emosional.
  • Prinsip pemecahan masalah. Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannya.

D. Tantangan Implementasi Pendidikan Inklusif
    Ada beberapa dilema yang perlu ditangani dengan kebijakan khusus yaitu:  
  1. Sistem penerimaan siswa baru, khususnya ditingkat pendidikan menengah dan atas yang menggunakan nilai ujian nasional sebagai kriteria penerimaan. Siswa hanya dapat diterima kalau hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
  2. Dijadikannya pencapaian hasil ujian nasional sebagai kriteria sekolah bermutu, bukan diukur dari kemampuannya dalam mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragaman.
  3. Penggunaan label sekolah inklusif dan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Naional pasal 41 ayat 1 tentang keharusan memiliki tenaga kependidiakn khusus bagi sekolah inklusif sebagai alasan melakukan penolakan masuknya anak berkelainan ke sekolah yang bersangkutan yang ditandai dengan munculnya gejala “ekslusivisme baru”, yaitu menolak anak berkebutuhan khusus dengan alasan belum memiliki tenaga khusus atau sekolahnya bukan sekolah inklusi.
  4. Kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang ini belum mengakamodasi keberadaan anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel).
  5. Masih dipahaminya pendidikan inklusif secara dangkal, yaitu semata-mata memasukkan anak disabled children ke sekolah regular, tanpa upaya mengakmodasi kebutuhan khususnya. Kondisi ini dapat menjadikan anak tetap tereklusi dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terisolasi, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah dan sebagainya. Padahal makna inklusif adalah ketika lingkungan kelas atau sekolah mampu memberikan rasa senang, menerima, ramah, bersahabat, peduli, mencintai, menghargai, serta hidup dan belajar dalam kebersamaan.
  6. Munculnya label khusus yang sengaja diciptakan oleh pemerintah maupun masyarakat yang cenderung membentuk sikap ekslusivisme, seperti sekolah unggulan, sekolah berstandar nasional (SNI), sekolah rintisan berstandar nasional (RSBI), sekolah favorit, sekolah percontohan, kelas akselerasi serta sekolah-sekolah yang berbasis agama. Kondisi ini tentu dapat berdampak pada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua karena menerima anak berkebutuhan khusus dengan sekolah special school.
  7. Masih terbatasnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusif secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan program eksperimental.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan 
  1. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang menempatkan anak luar biasa atau anak dengan kebutuhan khusus belajar bersama dengan anak normal dalam satu kelas di sekolah umum yang dekat dengan tempat tinggalnya.
  2. Kategori siswa pendidikan inklusi yaitu peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud terdiri atas tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, tunaganda.
  3. Prinsip dasar pendidikan inklusif yaitu: a) pendidikan inklusif membuka kesempatan kesempatan kepada semua jenis siswa, b) pendidikan inklusif menghindari semua aspek negatif labeling, c) pendidikan inklusif selalu melakukan check dan balances. Sedangkan prinsip pembelajaran yang harus menjadi perhatian guru dalam sekolah inklusif  yaitu: a) prinsip motivasi, b) prinsip latar/konteks, c) prinsip keterarahan, d) prinsip hubungan sosial, e) prinsip belajar sambil bekerja, f) prinsip individualisasi, g) prinsip menemukan, h) prinsip pemecahan masalah.
  4. Tujuan pendidikan inklusif adalah untuk menjamin hak setiap warga sekolah mendapatkan pendidikan, menghilangkan diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus dan membantu meningkatkan mutu pendidikan. Tujuan praktis yang ingin dicapai dalam pendidikan inklusif meliputi tujuan yang dapat dirasakan langsung oleh anak, guru, orang tua dan masyarakat.
  5. Ada beberapa tantangan implementasi pendidikan inklusif yang harus ditangani secara bijak dan serius sehingga pelaksanaan pendidikan inklusi berhasil.

B. Saran 
     Dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan pemikiran, saran serta komentar yang bersifat membangun, baik dari dosen pembimbing maupun dari teman-teman demi kesempurnaan makalah ini. 


Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Abdul Wahab, Solichin, Pengantar Analisis Kebijakan public, Malang: UMM Press, 2011.
Ilahi, Mohammad Takdir, Pendidikan Inklusif: Konsep dan Aplikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Iswari, Mega, Kecakapan Hidup Bbagi Anak Berkebutuhan Khusus, Padang: UNP Press, 2008.
Khalsa, Sirinam, Inclusive Classroom A Practical Guide for Education, Laverett: Permission Publisher, 2004.
Mudjito dkk, Pendidikan Inklusif, Jakarta: Baduose Media, 2012.
R. Indianto, Materi Implementasi Pendidikan Inklusi, Surabaya: Universitas Sebelas Maret, 2013.
Smith, David Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, Bandung: Nuansa, 2012..
Tarmansyah, Perspektif Pendidikan Inklusif, Padang: UNP Press, 2009.



                 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah          Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin k...
Fathir Rahmah Sabtu, 19 Juli 2025
Fathirahma Dayli


 

Dalam dinamika kehidupan modern, individu kerap dihadapkan pada kompleksitas peran yang harus dijalani secara bersamaan. Tidak sedikit yang berada dalam situasi di mana tanggung jawab akademik, profesional, dan sosial saling bersinggungan dalam satu waktu. Di tengah tuntutan tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: sejauh mana seseorang mampu bertahan, tanpa kehilangan arah dan semangat?

Tulisan ini mengangkat narasi personal tentang seorang individu yang menjalani fase hidup dengan beban tanggung jawab yang berlapis, terutama setelah menerima amanah untuk mengelola lembaga pendidikan berbasis pesantren milik keluarganya. Narasi ini bukan sekadar kisah inspiratif, melainkan refleksi tentang makna tanggung jawab, ketahanan mental, dan spiritualitas dalam menghadapi ujian hidup.

Sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Insyirah ayat 6:

“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,”

Allah tidak hanya menyampaikan sekali, tetapi mengulanginya dalam ayat berikutnya. Pengulangan ini bukan tanpa makna. Ia menjadi bentuk peneguhan dari Sang Khalik, seolah ingin meyakinkan hamba-Nya bahwa setiap kesulitan pasti disertai jalan keluar. Bahwa di balik ujian yang tampak berat, tersembunyi ruang kemudahan yang akan terbuka seiring dengan kesabaran, keikhlasan, dan keyakinan kepada-Nya.

Satu Amanah, Banyak Ujian

Ia adalah seorang pelajar pascasarjana yang di usia mudanya, telah diberikan amanah besar oleh ayahnya untuk mengelola pesantren keluarga. Sebuah tanggung jawab yang bukan hanya administratif, melainkan juga menyangkut masa depan generasi, nilai-nilai dakwah, dan keberlanjutan visi pesantren yang telah dirintis sejak lama.

Dalam menjalani peran tersebut, ia tidak hanya berhadapan dengan tantangan organisasi dan manajerial. Ada tekanan psikologis yang muncul, baik dari ekspektasi masyarakat maupun dari kondisi internal pesantren yang perlu pembenahan. Ia menggantikan seseorang yang sebelumnya meninggalkan sejumlah masalah, sehingga sejak awal harus berhadapan dengan situasi yang tidak ideal.

Tekanan, Luka, dan Kesabaran

Dalam dunia kerja, ia menghadapi banyak tekanan. Bukan hanya tentang beban kerja, tapi juga soal kesalahpahaman, prasangka, bahkan pernah kesalahan orang lain yang harus ia tanggung. Ia pernah dimarahi di hadapan publik, dianggap tidak kompeten, dan dinilai secara sepihak. Namun yang membuat kisahnya berbeda adalah ketabahannya dalam diam. Ia tidak membalas. Ia tidak menyebarkan pembelaan. Ia memilih jalan sunyi: memperbaiki dengan tindakan, bukan dengan kata-kata. “Aku seperti berjalan di atas kaca pecah,” katanya suatu waktu. “Setiap langkah terasa menyakitkan, tapi harus terus berjalan.” 

Ketika ia nyaris menyerah, ia kembali mengingat nasihat yang tertanam sejak kecil kalimat sederhana yang selalu diulang sang ayah:

“Fa inna ma'al ‘usri yusra, inna ma'al ‘usri yusra.”
(Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.)

Bagi dirinya, ayat ini bukan sekadar penghibur. Tapi janji Tuhan yang benar adanya. Dan ia percaya, selama ia bersabar, kelak akan datang kemudahan yang tak terduga. 

Empat Peran, Satu Tujuan
Ia menjalani hari-harinya dengan empat peran utama:
  1. Sebagai pengelola pesantren, ia harus bijak dan visioner.
  2. Sebagai mahasiswa doktoral, ia dituntut disiplin dan konsisten.
  3. Sebagai pekerja profesional, ia dituntut objektif dan produktif.
  4. Sebagai anak tumpuan harapan orangtua, ia dituntut untuk menjadi teladan.
Tiap peran memiliki tantangannya sendiri. Tidak jarang satu konflik datang bersamaan dengan yang lain. Saat sedang menghadapi tugas kuliah yang mendesak, ia harus menangani persoalan santri. Saat tubuhnya lelah karena kerja, ia tetap harus hadir secara utuh di rumah dan di ruang kelas. Namun semua ini dijalaninya bukan karena ingin dipuji. Tapi karena ia percaya, hidup yang bermakna adalah hidup yang digunakan untuk memberi. Memberi tenaga, waktu, pikiran, dan kebermanfaatan.

Sebagaimana Imam Al-Ghazali pernah berpesan:
“Tanda orang berakal adalah ia mampu menyesuaikan diri dalam kesempitan, dan tetap istiqamah dalam kelapangan.”

Penutup: Untuk Mereka yang Bertahan

Tulisan ini dipersembahkan untuk siapa pun yang sedang menjalani perjuangan sunyi. Untuk mereka yang tidak banyak bicara, tapi memikul beban berat dalam diam. Untuk mereka yang tidak menyerah, meski setiap hari harus melangkah di antara luka.

Perjuangan bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, melainkan siapa yang tetap bertahan walau banyak alasan untuk berhenti. Dan percayalah, bahwa Allah melihat. Bahwa setiap tangisan yang tak terdengar akan dibalas dengan kemuliaan. Bahwa setiap kesabaran, seberat apa pun, akan berujung pada kebaikan yang tak terduga.

“Dan bersabarlah; sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Anfal: 46)

Kelak, saat semua ini telah terlewati, kita akan memandang ke belakang dan menyadari:
semua luka itu bukan untuk menyiksa, tapi untuk menempa. Bukan untuk melemahkan, tapi untuk menguatkan.

by Fathira.

  Dalam dinamika kehidupan modern, individu kerap dihadapkan pada kompleksitas peran yang harus dijalani secara bersamaan. Tidak sedikit yan...
Fathir Rahmah Senin, 14 Juli 2025
Fathirahma Dayli



Pernahkah Anda merasa siswa di kelas nampak bosan atau kurang antusias ketika belajar? Mengajar itu bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga bagaimana menciptakan pengalaman belajar yang seru dan berkesan bagi siswa. Kalau pembelajaran terasa menarik, bukan hanya siswa yang lebih mudah paham, tapi juga lebih termotivasi untuk belajar. Nah, berikut ini beberapa strategi yang bisa diterapkan guru agar kelas jadi lebih hidup dan menyenangkan:


      1.  Menggunakan Metode Pembelajaran Aktif

          Metode pembelajaran aktif melibatkan siswa dalam proses belajar, sehingga mereka tidak hanya menjadi pendengar pasif. Beberapa metode yang dapat diterapkan antara lain:

  • Diskusi Kelompok: Siswa diajak untuk berdiskusi dan berbagi pendapat mengenai topik yang sedang dipelajari. Misalnya, dalam pelajaran sejarah, siswa dapat berdiskusi mengenai dampak revolusi industri terhadap kehidupan modern.
  • Role-Playing (Bermain Peran): Membantu siswa memahami materi dengan cara berperan sebagai tokoh dalam situasi tertentu. Contohnya, dalam mata pelajaran bahasa, siswa dapat memerankan skenario percakapan dalam bahasa asing.
  • Problem-Based Learning (PBL): Siswa diberikan permasalahan nyata untuk dipecahkan secara mandiri atau kelompok. Sebagai contoh, dalam pelajaran sains, siswa dapat diminta untuk mencari solusi terhadap isu pencemaran lingkungan di sekitar mereka.

     
     2. Memanfaatkan Teknologi dalam Pembelajaran

          Teknologi dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk meningkatkan interaktivitas dalam pembelajaran. Beberapa cara memanfaatkan teknologi antara lain:

  • Menggunakan Aplikasi Interaktif: Seperti Kahoot, Quizizz, atau Google Classroom untuk membuat kuis dan tugas lebih menarik. Misalnya, guru dapat membuat kuis interaktif untuk mengukur pemahaman siswa setelah pembelajaran.
  • Pemanfaatan Video Edukasi: Menampilkan video pembelajaran yang relevan untuk memperjelas konsep yang diajarkan. Contohnya, dalam pelajaran geografi, menayangkan video dokumenter tentang perubahan iklim.
  • Gamifikasi dalam Pembelajaran: Menggunakan unsur permainan seperti poin, level, dan tantangan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Misalnya, membuat sistem reward dengan peringkat berdasarkan pencapaian tugas akademik.
    
    3.  Menerapkan Pendekatan Diferensiasi

          Setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda. Guru perlu menyesuaikan metode pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan mereka:

  • Visual Learners: Gunakan gambar, diagram, atau grafik untuk menjelaskan konsep. Contohnya, dalam matematika, gunakan mind map untuk menggambarkan konsep aljabar.
  • Auditory Learners: Gunakan musik, diskusi, atau ceramah interaktif. Misalnya, dalam pelajaran bahasa, gunakan lagu sebagai alat untuk mempelajari tata bahasa.
  • Kinesthetic Learners: Berikan aktivitas fisik seperti eksperimen atau simulasi. Sebagai contoh, dalam pelajaran fisika, lakukan percobaan sederhana tentang hukum Newton.

     4. Menggunakan Ice Breaking dan Permainan Edukatif

         Pembelajaran yang menyenangkan bisa dimulai dengan ice breaking untuk mencairkan suasana kelas. Permainan edukatif seperti teka-teki, kuis cepat, atau lomba kelompok dapat meningkatkan semangat siswa. Misalnya, sebelum mulai belajar bahasa Inggris, guru dapat mengadakan permainan "tebak kata" untuk memperkenalkan kosakata baru.


      5. Menghubungkan Materi dengan Kehidupan Sehari-hari

          Siswa akan lebih mudah memahami materi jika mereka melihat keterkaitannya dengan dunia nyata. Guru bisa memberikan contoh nyata atau studi kasus dari kehidupan sehari-hari untuk menjelaskan suatu konsep. Misalnya, dalam ekonomi, guru dapat menjelaskan inflasi dengan contoh kenaikan harga barang di pasar lokal.


      6. Memberikan Umpan Balik yang Konstruktif

          Umpan balik yang positif dan membangun dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Pastikan untuk memberikan apresiasi atas usaha mereka dan memberikan arahan yang jelas untuk perbaikan. Contohnya, setelah siswa mengerjakan tugas esai, guru memberikan komentar yang spesifik tentang bagian yang sudah baik dan yang perlu diperbaiki.


      7. Menciptakan Lingkungan Belajar yang Nyaman

          Lingkungan belajar yang nyaman dan tidak menekan akan membuat siswa lebih bersemangat dalam belajar. Guru dapat menciptakan suasana ini dengan pendekatan yang ramah, humor yang tepat, dan mendorong siswa untuk berani berekspresi. Misalnya, dalam kelas seni, menciptakan ruang terbuka bagi siswa untuk mengekspresikan kreativitas mereka tanpa takut salah.


      8. Mendorong Kolaborasi antar Siswa

          Belajar secara kolaboratif dapat meningkatkan keterampilan sosial dan akademik siswa. Guru dapat mendorong kerja sama dengan cara:
  • Proyek Kelompok: Misalnya, dalam pelajaran biologi, siswa bekerja sama untuk membuat ekosistem mini dan menganalisisnya.
  • Belajar Berpasangan: Siswa diajak untuk saling mengajarkan materi yang telah mereka pahami.
  • Tantangan Kelas: Misalnya, membuat kompetisi edukatif dalam kelas untuk meningkatkan keterlibatan siswa.

Kesimpulan

        Dengan menerapkan strategi-strategi ini, guru dapat menciptakan pembelajaran yang lebih menyenangkan dan efektif. Siswa akan lebih terlibat dalam proses belajar, lebih mudah memahami materi, dan lebih termotivasi untuk terus belajar. Seorang guru yang kreatif dan inovatif akan mampu membawa perubahan positif dalam dunia pendidikan. Dengan mengombinasikan berbagai metode pengajaran yang menarik, teknologi, serta pendekatan yang fleksibel, guru dapat membangun pengalaman belajar yang menginspirasi dan bermakna bagi siswa.





Pernahkah Anda merasa siswa di kelas nampak bosan atau kurang antusias ketika belajar? Mengajar itu bukan hanya soal menyampaikan materi, te...
Fathir Rahmah Jumat, 28 Februari 2025
Fathirahma Dayli

 


Secara etimologis, kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu philein dan sophia. Philein berarti cinta, sedangkan sophia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat dapat diartikan sebagai cinta terhadap kebijaksanaan. Cinta di sini menggambarkan hasrat atau keinginan yang kuat dan tulus, sementara kebijaksanaan merujuk pada pencarian atau pemahaman akan kebenaran sejati. Filsafat, dengan kata lain, adalah dorongan atau keinginan yang mendalam untuk memperoleh dan memahami kebenaran yang hakiki.

Filsafat, secara umum, sebagai ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat bisa dianggap sebagai upaya manusia untuk memahami dunia dan kehidupan dengan cara yang mendalam dan kritis. Ia melibatkan pertanyaan-pertanyaan besar tentang eksistensi, kebenaran, moralitas, pengetahuan, dan keindahan. Filsafat bukan hanya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, tetapi juga cara berpikir tentang bagaimana kita memperoleh pengetahuan, apa yang dianggap benar atau salah, dan bagaimana kita harus hidup.

Secara sederhana, filsafat mengajak kita untuk berpikir lebih jauh dan tidak hanya menerima begitu saja apa yang ada di sekitar kita. Filsafat mengajarkan kita untuk mempertanyakan segala sesuatu dari alasan di balik tindakan kita hingga dasar-dasar kepercayaan kita. Ini bukan sekadar teori atau abstraksi, tapi berhubungan langsung dengan bagaimana kita menjalani hidup, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain. 

Menurut Moekijat (1980:318) dalam bukunya Filsafat Ilmu dan Pendidikan, filsafat dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menggali dan memahami prinsip-prinsip dasar untuk memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan pencapaian suatu tujuan tertentu. Singkatnya suatu filsafat adalah suatu cara hidup. Filsafat memiliki: 

  1. Tujuan tertentu, 
  2. Beberapa nilai yang berhubungan dengan pencapaian tujuan, dan 
  3. Keyakinan pada pihak para penganut bahwa nilai dan tujuan akhir bernilai untuk dikejar. 

Filsafat adalah petunjuk utama yang menggarisbawahi semua tindakan dari seorang manager. 

Filsafat Manajemen adalah bagian yang terpenting dari pengetahuan dan kepercayaan yang memberikan dasar yang luas untuk menetapkan pemecahan permasalahan manajerial. Filsafat ini mencakup pandangan mengenai bagaimana seharusnya organisasi dijalankan, bagaimana hubungan antara atasan dan bawahan, dan bagaimana sumber daya dikelola untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Filsafat manajemen sering kali berhubungan dengan pendekatan tertentu dalam mengelola organisasi, seperti:
  1. Pendekatan humanistik: Fokus pada pengembangan sumber daya manusia, memperlakukan karyawan dengan penghargaan dan rasa hormat, serta menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan karyawan.
  2. Pendekatan sistem: Melihat organisasi sebagai sistem yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi, di mana manajer perlu mengelola hubungan antara berbagai komponen tersebut untuk mencapai tujuan bersama.
  3. Pendekatan pragmatis: Menekankan pentingnya keputusan yang praktis dan fleksibel berdasarkan situasi yang dihadapi, dengan fokus pada efisiensi dan hasil yang dapat dicapai dalam jangka pendek.
Filsafat manajemen dapat berbeda-beda antar organisasi atau individu, tergantung pada nilai-nilai yang dipegang dan tujuan yang ingin dicapai. Sebagai contoh, seorang manajer yang menganut filsafat kepemimpinan yang partisipatif mungkin lebih terbuka terhadap masukan dari tim dan berusaha memberdayakan karyawan untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan.

Menurut Davis dan Filley dalam Ukas (1978), terdapat beberapa faktor dasar dalam filsafat manajemen yang saling bergantung dan memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain dalam mencapai tujuan organisasi. Faktor-faktor tersebut mencakup:
  1. Tujuan. Tujuan adalah elemen fundamental dalam filsafat manajemen. Setiap organisasi harus memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Tujuan ini menjadi acuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Tanpa tujuan yang jelas, manajer akan kesulitan dalam memandu organisasi untuk mencapai keberhasilan.
  2. Kepemimpinan. Kepemimpinan memainkan peran kunci dalam filsafat manajemen. Manajer harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan mengarahkan tim menuju pencapaian tujuan. Kepemimpinan yang efektif tidak hanya mengatur, tetapi juga menginspirasi dan memotivasi karyawan untuk berkontribusi secara optimal.
  3. Komunikasi. Komunikasi yang jelas dan efektif adalah faktor yang sangat penting dalam filsafat manajemen. Komunikasi harus mengalir dengan baik antar tingkatan organisasi untuk memastikan bahwa setiap anggota tim memahami tujuan, peran, serta keputusan yang diambil. Komunikasi yang buruk dapat menghambat pencapaian tujuan dan menyebabkan kesalahpahaman.
  4. Pengambilan Keputusan. Pengambilan keputusan adalah inti dari setiap tindakan manajerial. Keputusan yang diambil oleh manajer harus didasarkan pada data yang akurat, pemahaman tentang tujuan, dan analisis terhadap berbagai alternatif. Keputusan yang tepat dapat membawa organisasi lebih dekat kepada tujuan, sedangkan keputusan yang salah dapat mengarah pada kegagalan.
  5. Pengelolaan Sumber Daya. Sumber daya yang dimiliki oleh organisasi, baik itu manusia, finansial, maupun material, harus dikelola dengan bijaksana. Pengelolaan sumber daya yang efisien dan efektif akan mendukung pencapaian tujuan organisasi dengan optimal. Sumber daya yang terbatas harus dialokasikan dengan baik untuk menghindari pemborosan.
  6. Pengawasan dan Pengendalian. Pengawasan atau kontrol adalah salah satu faktor penting dalam memastikan bahwa organisasi berjalan sesuai rencana. Manajer perlu mengawasi jalannya operasi dan mengevaluasi apakah semua berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pengendalian ini melibatkan penyesuaian terhadap penyimpangan yang terjadi selama proses operasional.
  7. Inovasi dan Perubahan. Filsafat manajemen juga mencakup sikap terhadap inovasi dan perubahan. Manajer perlu memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal maupun internal organisasi. Inovasi dalam produk, layanan, atau proses bisnis sangat penting untuk menjaga daya saing dan mencapai tujuan jangka panjang.
Semua faktor ini saling berkaitan dan bergantung satu sama lain. Misalnya, pengambilan keputusan yang baik akan bergantung pada komunikasi yang efektif, sementara komunikasi yang jelas dapat mendukung kepemimpinan yang kuat. Begitu juga dengan pengelolaan sumber daya yang efisien yang hanya dapat tercapai jika tujuan dan kepemimpinan yang efektif ada untuk memandu organisasi ke arah yang benar. Ketergantungan ini membuat filsafat manajemen menjadi sebuah sistem yang saling terkait dan harus diterapkan secara holistik untuk mencapai tujuan organisasi.


  Secara etimologis, kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu philein dan sophia . Philein b...
Fathir Rahmah Senin, 17 Februari 2025
Fathirahma Dayli



Sering dengar kalimat "keluar dari zona nyaman"? Sekilas, kalimat itu terdengar seperti ajakan untuk meninggalkan rasa nyaman. Tapi, bukankah semua orang justru mencari kenyamanan dalam hidup mereka? Lalu, kenapa kita harus meninggalkannya? Sebenarnya, zona nyaman itu bukan sesuatu yang harus ditinggalkan. Sebaliknya, kita perlu menaikkan level zona nyaman kita. 


Kenapa Harus Upgrade Zona Nyaman?

  1. Tanda Pertumbuhan Diri. Ketika kamu terus meningkatkan level zona nyamanmu, itu artinya kamu sedang tumbuh. Seperti main game, semakin tinggi levelnya, semakin banyak tantangan dan keterampilan baru yang harus kamu miliki. Hidup pun seperti itu, setiap tantangan adalah peluang untuk berkembang.
  2. Mengatasi Stagnasi. Terjebak di zona nyaman yang selalu sama dan terlalu lama bisa membuatmu merasa bosan atau tidak termotivasi. Dengan menaikkan level, kamu membuka peluang untuk belajar hal baru dan menciptakan pengalaman yang lebih bermakna.
  3. Menghadapi Dunia yang Berubah. Dunia terus bergerak maju, dan jika kamu tetap berada di level yang sama, kamu bisa tertinggal. Dengan meng-upgrade zona nyamanmu, kamu jadi lebih siap menghadapi perubahan.

Bagaimana Cara Naik Level Zona Nyaman?

  1. Mulai dari Langkah Kecil. Jangan langsung memaksakan diri melakukan sesuatu yang sangat jauh di luar kemampuanmu. Misalnya, kamu ingin belajar public speaking, mulailah dengan berbicara di depan teman dekat atau sahabat sebelum melangkah ke audiens yang lebih besar.
  2. Hadapi Ketakutan, Bukan Menghindarinya. Rasa takut adalah tanda bahwa ada sesuatu yang bisa kamu pelajari. Dengan menghadapi ketakutan, kita memberi diri kita sendiri peluang untuk membuktikan bahwa ketakutan itu tidak seburuk yang kita bayangkan. Proses ini memperkuat mental, membangun kepercayaan diri, dan membantu kita melangkah keluar dari batas yang sebelumnya terasa mengikat.
  3. Evaluasi Progres Secara Berkala. Setiap kali kamu merasa hal yang tadinya menantang sudah menjadi nyaman, luangkan waktu untuk mengevaluasi: apa yang sudah kamu capai? Apa yang bisa kamu tingkatkan lagi? Proses ini akan membantumu tetap termotivasi untuk naik ke level berikutnya.
  4. Berani Gagal. Menaikkan level zona nyaman sering kali melibatkan risiko gagal. Jadikan kegagalan sebagai bagian dari proses belajar, bukan alasan untuk berhenti. Bahkan, setiap kegagalan adalah batu loncatan menuju keberhasilan.

Zona Nyaman Itu Fleksibel !

Setiap orang punya zona nyaman yang berbeda. Apa yang terasa menantang bagi orang lain mungkin terasa biasa bagimu, begitu juga sebaliknya. Jadi, berhenti membandingkan dirimu dengan orang lain. Fokus pada perjalananmu sendiri, naikkan level dengan caramu, dan nikmati prosesnya.

Ingat, zona nyaman bukan musuh, tapi pijakan untuk berkembang. Teruslah naikkan level, hadapi tantangan dengan kepala tegak, dan jadikan dirimu versi terbaik setiap harinya.


Sering dengar kalimat "keluar dari zona nyaman"? Sekilas, kalimat itu terdengar seperti ajakan untuk meninggalkan rasa nyaman. Tap...
Fathir Rahmah Kamis, 02 Januari 2025
Fathirahma Dayli

 


Kedisiplinan adalah pondasi utama dalam dunia pendidikan. Salah satu cara membentuk kedisiplinan yang efektif adalah dengan menjadikan kehadiran peserta didik sebagai kebiasaan yang tertanam sejak dini. Sekolah tidak hanya menjadi tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai wadah pembentukan karakter, di mana kebiasaan hadir tepat waktu dapat menjadi modal berharga dalam kehidupan peserta didik.


Kehadiran sebagai Indikator Kedisiplinan


      Kehadiran bukan sekadar angka di daftar absensi, tetapi mencerminkan tingkat komitmen, tanggung jawab, dan motivasi peserta didik. Ketika siswa hadir secara konsisten, mereka menunjukkan sikap disiplin yang dapat memengaruhi berbagai aspek lain dalam kehidupan, seperti:

  1. Pengelolaan waktu yang baik: Membiasakan hadir tepat waktu membantu siswa belajar menghargai waktu.
  2. Konsistensi dalam belajar: Kehadiran yang rutin memungkinkan siswa mengikuti proses pembelajaran dengan optimal.
  3. Peningkatan hubungan sosial: Interaksi dengan teman dan guru di sekolah membantu siswa membangun komunikasi yang efektif.

Strategi Efektif Mengelola Kehadiran


    Mengubah kehadiran menjadi kebiasaan membutuhkan strategi yang terencana dan konsisten. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diterapkan oleh sekolah:

  1. Sosialisasi Pentingnya Kehadiran. Sekolah perlu menjelaskan kepada peserta didik dan orang tua mengenai pentingnya kehadiran dalam mendukung keberhasilan akademik dan pengembangan karakter.
  2. Penerapan Teknologi dalam Pemantauan. Kehadiran Penggunaan aplikasi absensi digital atau sistem biometrik dapat mempermudah pencatatan dan memberikan informasi real-time kepada pihak sekolah dan orang tua.
  3. Program Penghargaan dan Pengakuan. Memberikan penghargaan kepada siswa dengan tingkat kehadiran tinggi, seperti sertifikat atau apresiasi dalam acara sekolah, dapat memotivasi mereka untuk terus menjaga konsistensi kehadiran.
  4. Kolaborasi dengan Orang Tua. Komunikasi yang intensif dengan orang tua sangat penting. Melibatkan mereka dalam memantau kehadiran anak dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan kehadiran.
  5. Menciptakan Lingkungan Belajar yang Menarik. Peserta didik cenderung lebih termotivasi untuk hadir jika mereka merasa nyaman dan tertarik dengan suasana belajar di sekolah.

Mengatasi Tantangan Kehadiran


    Kehadiran yang rendah sering kali disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kurangnya motivasi, masalah keluarga, atau kondisi kesehatan. Untuk mengatasi hal ini, sekolah dapat:

  1. Menyediakan Konseling: Membantu siswa yang menghadapi kendala pribadi melalui bimbingan konselor sekolah.
  2. Melibatkan Guru dalam Motivasi: Guru dapat memainkan peran penting dalam memberikan dorongan dan perhatian kepada siswa.
  3. Fleksibilitas pada Kondisi Tertentu: Memahami situasi unik siswa, seperti kebutuhan khusus atau masalah kesehatan, dapat menciptakan pendekatan yang lebih inklusif.

Dampak Jangka Panjang


    Kedisiplinan yang terbentuk melalui kebiasaan hadir tidak hanya berdampak pada prestasi akademik, tetapi juga mencetak generasi yang memiliki karakter unggul. Siswa yang terbiasa hadir tepat waktu dan konsisten akan membawa kebiasaan ini ke dalam kehidupan profesional mereka, menciptakan individu yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan memiliki etos kerja yang tinggi.


Penutup


    Mengelola kehadiran bukan hanya tugas administratif, tetapi seni dalam membentuk kebiasaan disiplin yang mendalam. Dengan strategi yang tepat dan kolaborasi yang baik antara sekolah, peserta didik, dan orang tua, kehadiran dapat diubah menjadi kebiasaan positif yang berdampak jangka panjang. Mari kita bersama-sama menjadikan kehadiran sebagai langkah awal mencetak generasi disiplin yang siap menghadapi masa depan dengan penuh tanggung jawab.

  Kedisiplinan adalah pondasi utama dalam dunia pendidikan. Salah satu cara membentuk kedisiplinan yang efektif adalah dengan menjadikan keh...
Fathir Rahmah Senin, 30 Desember 2024